Kekayaan spesies satwa di Indonesia memang luar biasa. Satwa-satwa ini memiliki karakter yang menakjubkan sehingga kerap menjadi daya tarik penelitian dan wisata, serta menyimpan potensi atas nilai pengetahuan dan filosofis yang tinggi. Salah satunya, spesies Hiu Paus (Whale Shark). Spesies ini tercatat sebagai ikan dengan ukuran paling besar dengan nama latin Rhincodon typus. Meski berlabel menakutkan layaknya hiu, rupanya Hiu Paus memiliki karakter ‘ramah’ karena tidak menyerang dan hanya memangsa plankton serta udang dan ikan-ikan kecil.
Nama ‘paus’ disandang Hiu Paus lantaran ukuran dan cara makannya. Ukuran paling besar yang pernah tercatat mencapai 20 meter, sementara yang paling kecil sepanjang 55 cm (21,7 inchi). Hiu ini makan dengan menyaring, seperti yang dilakukan Paus Balin. Caranya pun unik; mereka berenang perlahan melintasi perairan yang kaya dengan plankton, dengan membuka mulut lebar-lebar. Lantas mereka ‘menanti’ plankton-plankton itu masuk terhisap ke dalam rongga mulut bersama dorongan air. Ketika mulutnya tertutup, air yang tadi terhisap dikeluarkan sementara plankton-plankton terperangkap di bagian luar gigi-geligi. Sejumlah varietas plankton mikroskopik dan nekton (lebih besar dari plankton) yang disantap Hiu Paus, antara lain jenis udang kecil, anak ikan, dan makanan tuna dan cumi-cumi. Mereka juga memamah phyto plankton (tanaman mikroskopik) dan jenis alga (tanaman yang lebih besar).
Hiu Paus kerap ditemui di perairan samudera tropis yang hangat. Di Indonesia, populasinya terdeteksi di perairan Kwatisore, Papua Barat, dan sekitarnya. Masyarakat di sana menyebutnya “Ikan Gurano Bintang”, berasal dari pola warna yang unik—bintik-bintik bercahaya dan bergaris di latar yang gelap, persis gugusan bintang di langit. Dikenal sebagai ikan yang ramah terhadap masyarakat yang menangkap ikan puri (teri), setiap pagi atau sore hiu ini mendatangi para nelayan yang menanam bagan-bagan ikan puri di sekitar perairan Kwatisore untuk meminta ‘jatah makanan’.
Keberadaan Hiu Paus di Perairan Kwatisore mendorong pertumbuhan wisata di daerah ini. Kini Kwatisore dikenal sebagai salah satu lokasi kunjungan favorit para turis dan para peneliti spesies laut, ditandai dengan berdirinya sebuah resort dan operator selam lokal. Kemunculan Hiu Paus di daerah ini kerap dalam jumlah yang cukup banyak, yakni antara 4-6 individu, dan dapat diamati hingga 2 jam di bagan-bagan ikan Puri yang tersebar di sekitar perairan Kwatisore. Di sana, mereka tak malu-malu bercengkrama dengan masyarakat, bahkan sering terlihat berenang bersama. Masyarakat Papua tak pernah khawatir atau was-was, karena mereka telah paham bahwa hiu-hiu raksasa itu memiliki karakter tidak menyerang.
Namun demikian, eksistensi Hiu Paus bukannya tidak menghadapi ancaman. Meskipun usaha perikanan komersial untuk Hiu Paus dibatasi, nyatanya permintaan terhadap produk olahan spesies ini makin meningkat alih-alih harganya yang beranjak tinggi. Selain dagingnya yang dikonsumsi sebagai bahan masakan, minyak Hiu Paus digunakan untuk melapisi kayu pada kapal dan peralatan lain, untuk industri semir sepatu, serta sebagai obat sejumlah penyakit kulit. Akibat kebutuhan tersebut, penangkapan Hiu Paus terjadi secara sporadik dan grafiknya meningkat. Di Taiwan, ada sekitar 100 individu hiu jenis ini ditangkap dan dibunuh setiap tahunnya. Penangkapan ikan Hiu Paus juga terjadi di Filipina, terutama di wilayah Visayas dan Mindanao, serta kadang-kadang di sepanjang pantai di India. Perdagangan sirip Hiu Paus pun marak terjadi di Asia Timur, terutama di Hongkong.
WWF-Indonesia sejak dua tahun terakhir melakukan usaha konservasi yang intensif terhadap spesies satwa di perairan yang masuk wilayah Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua, khususnya terhadap spesies Hiu Paus. Usaha ini diawali dengan pemasangan tagging untuk memantau pola ruaya hiu terbesar ini, dilanjutkan dengan pemasangansatellite tagging kerja sama WWF dengan para mitra (Mark Erdman dariConservation International dan Brent Stewart dari Hubbs-Sea World Research Institute) dan para donor (P. Yeung, D. De Jesus, dan E. Tan).
Hingga saat ini terpasang 50 unit RFID (Radio Frequency Identification Device) sebagai penanda individu Hiu Paus di Taman Nasional Teluk Cenderawasih dan dapat dipastikan bahwa jumlahnya lebih dari ini. Enam Hiu Paus di antaranya berenang di perairan ini dengan membawa satelite tag yang akan memberikan informasi data suhu, kedalaman, dan penetrasi cahaya, serta posisi Hiu Paus selama 6 bulan. Semua informasi tersebut akan sangat berguna bagi riset ekologis dan perlindungan ikan terbesar di dunia ini.
Demikian unik dan berharganya raksasa laut berhati lembut yang ramah dan bersahabat dengan masyarakat Papua ini, WWF-Indonesia mendedikasikan nama Gurano Bintang pada sebentuk kapal kayu bermotor. “KM Gurano Bintang” merupakan sebuah kapal motor dengan misi pendidikan dan kesehatan yang melayani masyarakat di sepanjang perairan Taman Nasional Teluk Cenderawasih sejak Oktober 2011. Kapal ini awalnya bertugas di perairan Alor, bertujuan mengajak siswa-siswa sekolah untuk mengenal segala hal tentang laut dan seisinya. Untuk mendukung kegiatannya, lambung kapal lantas dihiasi dengan gambar hasil kreativitas pemenang lomba gambar anak-anak saat peresmian kapal pada 20 April 2007, serta dilengkapi dengan perpustakaan.
Nama Gurano Bintang sendiri telah ditasbihkan menjadi slogan bagi masyarakat Kwatisore yang menggunakan bahasa Suku Yaur, “O En O Himmo Tanivre”, yang artinya “Kita Jaga bersama Gurano Bintang”.
source : http://www.wwf.or.id/?28040/gurano-bintang-spesies-unik-di-bumi-cendrawasih-yang-menginspirasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar